PENDIDIKAN


Membangun Nasionalisme dengan Mengatasi Pengangguran

Judul lengkap: Membangun Nasionalisme Dan Pendidikan Dengan Mengatasi Pengangguran Melalui Kearifan Lokal Remaja: Studi Kasus di Desa Duren Sawit dan Slungkep Kabupaten Pati – Jawa Tengah.


      Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama (Situmorang,2006). Dalam era Otonomi Daerah yang mulai dilaksanakan oleh daerah- daerah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tampaknya nasionalisme menjadi  urgen untuk diperbincangkan kembali. Mengapa? Apakah memang perlu mendengungkan kembali dan mendarahdagingkan kembali semangat nasionalisme untuk kepentingan  nasional atau kepentingan daerah? Banyak pertanyaan yang meletup dalam hati kita,  bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan hankam bangsa Indonesia yang sedang “sakit” saat ini, membutuhkan kearifan berpikir, bertindak, dan berbangsa dalam koridor keutuhan bangsa Indonesia.
Munurut Hans Kohn (1984), nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi  setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Seratus tahun kebangkitan nasional pada tahun 2008 lalu menjadi tolak perjuangan dalam memperingati hari kebangkitan nasional. Setidaknya dua generasi telah menghantarkan mimpi kebangsaan tersebut menjadi sebuah realita, yakni generasi Boedi Oetomo 1908, dan generasi Sumpah Pemuda 1928. Barangkali untuk mengingkari sebuah kenyataan sejarah bahwa upaya mewujudkan cita – cita merdeka lepas dari kungkungan pemerintah kolonial, harus ditebus dengan berbagai macam pengorbanan, mulai dari tenaga, pikiran sampai kejiwa perintisnya.
Remaja merupakan kunci tercapainya kebangkitan nasional menuju stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, kearifan lokal budaya oleh remaja dalam menyikapi nasionalisme melalui mengurangi jumlah penggangguran menjadi salah satu alternatif untuk mempertahankan keanekargaman budaya di Indonesia dengan aplikasi kearifan lokal. Kearifan lokal atau  sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Definisi tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia diperlukan kearifan lokal untuk menyikapinya, agar tidak timbul suatu polemik yang justru menjadikan kondisi Indosesia menjadi terncam stabilitasnya karena kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Berdasarkan hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2009 mencapai 231 juta jiwa yang 74,4% diantaranya adalah penduduk usia kerja. Sekitar 118,6 juta orang atau 69%  dari penduduk usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja, suatu jumlah yang sangat mengkhawatirkan melihat kemampuan ekonomi Indonesia saat ini. Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan mencapai sekitar 7,5 juta orang atau 6,4% dari angkatan kerja.
Kecamatan Kayen merupakan kecamatan kecil yang terletak 17 km dari arah kota Pati provinsi Jawa Tengah. Penduduk Kayen dengan jumlah 75.971 jiwa tersebar dalam 17 desa/kelurahan. Duren Sawit dengan jumlah penduduk 2.025 jiwa, yang masuk usia  produktif sejumlah 1.326 jiwa, yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Dari 1.326 siswa usia produktif pada tahun 2007 hanya 30 jiwa yang melanjutkan SMA. Untuk desa Slungkep jumlah penduduk bulan Juli 2009 mencapai 4.309 jiwa. Dari keseluruhan penduduk, yang termasuk dalam kelompok usia produktif sekitar 2.357 jiwa, jumlah yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA mencapai 207 jiwa, masyarakat Slungkep memiliki mata pencaharian sebagian besar sebagai buruh tani (Laporan Kependudukan Kecamatan kayen, 2007).
Dalam perwujudannnya untuk menunjukkan kecintaan terhadap negara Indonesia terdapat dua sisi berbeda dalam penyikapan dan tindakan dalam megurangi tingkat pengangguran. Desa Duren Sawit dan Slungkep mampu menunjukkan perubahan yang signifikan yaitu melalui perubahan pola pikir remaja kedua desa yang dapat dijadikan contoh dalam upaya pembangunan desa menuju kesejahteraan melalui tindakan riil remaja setempat. Bagimana upaya yang dilakukan remaja desa Duren Sawit dan slungkep dalam membangun daerah mereka?
Sebagian besar masyarakat desa Duren Sawit dan Slungkep adalah golongan  ekonomi lemah dan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Mulai tahun 2005 dengan dipelopori golongan remaja yang peduli akan nasib desa mereka, remaja desa melakukan suatu gebrakan untuk pembangunan desa mereka, desa Duren Sawit yang terkenal dengan pernikahan dini, justru pernikahn dini semakin membelenggu mereka dengan kemiskinan. Remaja desa Duren Sawit mulai menyadari bahwa dengan pernikahan dini justru semakin meningkatkan pengangguran, karena seseorang yang menikah dalam usia dini belum memiliki pekerjaan yang tetap, ketika kebutuhan rumah tangga semakin banyak justru menjadikan tingkat kesejahteraan keluargan kurang, karena ketidakpuasan akan hasil kerja mereka yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga., sehingga suami yang pengangguran dalam sebuah keluarga dapat memicu terjadinya perceraian.
Kearifan lokal yang diterapkan remaja desa Duren Sawit adalah dengan merantau ke kota – kota besar ataupun ke luar negeri, sistim yang diterapkan adalah dengan sistem estafet yaitu remaja yang berangkat merantau ke kota besar ataupun ke luar negeri dan telah berpenghasilan melakuakan sistem “patungan” untuk mempersiapkan keberangakatan rekannya yang  asih  di desa untuk berangkat merantau pula. Remaja yang akan berangkat merantau tidak perlu untuk mengeluarkan dana untuk keberangkatannya ke perantauan, karena dana keberangkatannya ditanggung oleh sekelompok remaja yang telah merantau terlebih  dahulu, hal ini memiliki nilai positif karena mampu menciptakan kesolidan remaja desa Duren sawit. Setiap satu tahun sekali tepatnya lebaran idul fitri mereka pulang ke desa dan tepatnya pada libur lebaran sekali pula, remaja dari kota rantau yang pulang melakukan  iuran untuk mengadakan hiburan dengan mengundang musisi lokal untuk menghibur  mereka setelah satu tahun brrjuang mencari nafkah diperantauan, biasanya dalam ajang ini masyarakat pemuda desa tetangga seperti desa Sumbersari dan Ciroto sering diundang untuk menyaksikan hiburan bersama – sama, dalam acara ini kekeluargaan remaja desa sangat terlihat.
Dengan pola kearifan lokal remaja Duren Sawit, secara bertahap terbukti mampu mengurangi tingkat pengangguran, yang sebelumnya golongan remaja merupakan golongan yang menduduki posisi sebagai pengangguran, hal ini memiliki dampak positif walaupun hanya merantau jumlah pengangguran dari golongan remaja di desa Duren Sawit berkurang. Mereka mampu berpenghasilan dan dapat menghibur diri mereka yang sebelumnya belum pernah ada sebelum mereka merantau. Sistem “patungan” yang diterapkan memiliki nilai positif yaitu mempererat kekeluargaan remaja desa, menunjukkan mereka saling menyayangi dan peduli, berawal dari cinta sesama akan menimbulkan mereka mencintai Indonesia, dimana mereka yang merantau ke negara tetangga Indonesia yaitu di Malasya dan Singapura, mereka telah berperan sebagai pahlawan devisa negara. Kesadaran yang muncul bahwa untuk mengatasi kemiskinan bukan lagi dengan  enerapkan pola pernikahan dini, tetapi bagaimana mengurangi pengangguran yang ada di desa  mereka dengan merantau mencari rejeki di kota lain atau di negara orang lain.
Sedangkan kearifan lokal yang diterapkan oleh remaja desa Slungkep dalam upaya mengurangi pengangguran untuk mengatasi kemiskinan di desa Slungkep adalah masyarakat desa Slungkep sudah mulai menyadari akan pentingnya pendidikan. Remaja desa Slungkep mulai mengengerti sistem pengorganisasian kelompok remaja hal ini terbukti dengan terbentuknya organisasi desa yang diberi nama PUPA (Paguyupan Pemuda) desa Slungkep, organisasi ini berpengaruh positif karena personil didalam organisasi ini saling memberikan inspirasi setiap personil untuk semakin berkarya dengan bekerja dan berwirausaha guna kemajuan desa.  Sebagian personil organisasi ini adalah mahasiswa  Perguruan tinggi yang berasal dari desa  Slungkep yang kurang mampu tetapi berprestasi, dan mereka sebagian besar melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang.
Remaja desa Slungkep yang mulai sadar akan pentingnya pendidikan, pendidikan remaja dalam keluarganya berperan sebagai agent of change, seorang kakak yang telah bekerja, mereka akan berupaya membantu orang tuanya untuk menyekolahkan adiknya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi. Remaja yang berperan aktif biasanya adalah remaja laki – laki. Sebagai contoh dalam sebuah keluarga yang memiliki tiga orang anak, maka seorang kakak pertama yang hanya berpendidikan SLTP, memiliki tanggung jawab untuk menyekolahkan adiknya, sehingga sebagaian besar remaja desa Slungkep setelah lulus sekolah terpacu untuk bekerja ataupun berwirausaha untuk membiayai sekolah adiknnya agar adiknya dapat melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi yaitu minimal satu tingkat diatasnya, jika seorang anak pertama lulus pendidikan tingkat SLTP, maka anak kedua minimal harus melanjutkan sekolah ketingkat SLTA, setelah anak kedua lulus SLTA, selanjutnya tanggung jawabnya adalah untuk membiyai adiknya hingga dapat melanjutkan ketingkat perguruan tinggi, sehingga dalam satu keluarga, dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan memicu remaja desa untuk semakin maju yaitu dengan memutus rantai kemiskinan dan pengangguran dari keluarga masing – masing.
Berdasarkan kearifan local dalam upaya mengatsi pengangguran yang diterapkan oleh kedua desa yaitu Duren sawit dan Slungkep telah mampu menciptakan aspek budaya. Semua aspek yang diprioritaskan tidak bisa lepas dari motivasi masyarakat desa Duren Sawit dan Slungkep untuk berubah (kultural) sekaligus aspek komitmen pelaku pembangunan nasional melalui remaja, sehingga perlu penyusunan kebijakan, bagaimana pemerintah berupaya untuk menyusun kebijakan dalam peyelesaian penggangguran melalui remaja, Karena dewasa ini tingkat pengangguran terbesar yaitu usia remaja yaitu menjcapai 6,4% dari usia angkatan kerja. Kearifan lokal sama sekali tidak bisa diperoleh melalui suatu pendidikan formal dan informal tetapi hanya bisa dipahami dari suatu pengalaman yang panjang melalui suatu pengamatan langsung. Kearifan lokal lahir dari learning by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi yang menjadi budaya warisan. Kegunaan utama kearifan lokal adalah menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya, dan kelestarian Sumber Daya Alam dan peningkatan potensi Sumber Daya Manusia sebagaimana telah dilakukan oleh remaja desa Duren Sawit dan desa Slungkep.
Pentingnya nasionalisme dalam pembangunan nasional dengan menerapkan kearifan local remaja merupakan suatu langkah awal untuk mengatasi permasalahan yang ada khusunya pengangguran melalui sistem pola pikir yang positif yaitu seperti yang diterapkan remaja  desa Duren Sawit dan Slungkep, hal tersebut patut dicontoh oleh remaja desa daerah lain yang masih tergolong dalam desa tertinggal, karena dengan pola pikir kemandirian secara bertahap akan mampu menciptakan stabilitas usaha perekonomian kelompok remaja menuju tercapainya kemantapan stabilitas nasional.

 

No comments:

Post a Comment